Sebuah
undang-undang yang mengatur penyelesaian pelanggaran HAM berat yaitu UU 26/2000
tentang Pengadilan HAM. Pasal 43 (1) menyatakan bahwa: “Pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini,
diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad
hoc”. Adapun mekanismenya adalah :
1 - Komnas HAM melakukan
penyelidikan (pasal 18)
2 - Kejaksaan Agung
melakukan penyidikan (pasal 21)
3 - DPRRI mengusulkan
pembentukan pengadilan HAM ad hoc
berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden (pasal 43 ay 2).
4 - Presiden menerbitkan
Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc
.
Catatan:
1)
Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-V/2007 menyatakan bahwa terjadi atau tidak
terjadinya pelanggaran HAM berat ditentukan oleh Komnas HAM sebagai lembaga
penyellidik dan Kejaksaan Agung sebagai lembaga penyidik.
2)
Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 75/PUU-VIII/2015 menyatakan bahwa proses penyelesaian
HAM berat yang terkatung-katung bukan lagi persoalan hukum (yuridis) lagi,
melainkan persoalan kemauan politik.
Banyaknya
hambatan penyelesaian kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II di meja
pengadilan HAM ad hoc semakin
meneguhkan keyakinan bahwa dalam kasus tersebut terbukti terjadi kejahatan
kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat.
TRAGEDI 1998/1999
Di
penghujung pemerintahan Orde Baru, pada tahun 1998 mahasiswa berdemonstrasi
menuntut turunnya Presiden Soeharto karena pemerintahannya semakin otoriter,
militeristik dan korup. Sidang Umum MPRRI pada bulan Maret 1998, Soeharto
kembali terpilih menjadi presiden. Gelombang demonstrasi dari ke hari semakin
membesar. Dalam menghadapi para demonstran, pemerintah mengerahkan ABRI
(TNI/Polri) dengan dipersenjatai peralatan berat untuk perang.
Disamping
itu, mahasiswa juga menuntut perubahan sistem pemerintahan yang reformis dan
demokratis dengan menyerukan tuntutan pelaksanaan “6 agenda reformasi”, yaitu
1 . Adili
Soeharto dan kroni-kroninya
2 . Berantas KKN (korupsi,
kolusi dan nepotisme)
3 . Tegakkan supremasi
hukum
4 . Cabut dwifungsi ABRI
5 . Laksanakan otonomi
daerah seluas-luasnya
6 . Amandemen
UUD 1945
Pada
13 Maret 1998, setelah Sidang Umum MPRRI terjadi penculikan terhadap para aktifis
prodemokrasi.
Pada
12 Mei 1998, terjadi penembakan mahasiswa di Univ. Trisakti.
Pada
13-15 Mei 1998, terjadi kerusuhan massal di beberapa kota besar berupa pembakaran
di berbagai pusat perbelanjaan.
Pada
21 Mei 1998, Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden dan menunjuk
Wakil Presdien B.J. Habibie sebagai penggantinya. Penembakan mahasiswa Trisakti
tidak menyurutkan semangat mahasiswa untuk mengawal reformasi dan demokrasi.
Pada
10 - 13 November 1998, pemerintahan Presiden BJ Habibie menggelar Sidang
Istimewa MPRRI tetapi ditolak oleh mahasiswa karena disinyalir Sidang Istimewa
MPRRI hanya akan dijadikan ajang konsolidari kroni-kroni Soeharto. Mahasiswa
menuntut diselenggarakan pemilu ulang terlebih dahulu, karena yang akan
bersidang adalah anggota MPRRI hasil pemilu 1997 di era pemerintahan Presiden
Soeharto.
Pada
saat itu, kampus Unika. Atma Jaya menjadi pusat berkumpulnya para mahasiswa
dari berbagai kampus. Dan, untuk menghadapi para mahasiswa yang berdemonstrasi
menolak Sidang Istimewa MPRRI, pemerintah tidak hanya mengerahkan TNI/Polri
yang dipersenjatai dengan peralatan berat untuk perang tetapi juga mengerahkan
pamswakarsa, yaitu masyarakat sipil yang dipersenjatai dengan bambu runcing.
Terjadi banyak korban, baik yang luka-luka maupun meningal dunia karena ditembak
dengan peluru tajam. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan “Tragedi Semanggi I.”
Pada
tahun 1999, mahasiswa berdemonstrasi menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya
karena RUU ini melegitimasi TNI/Polri untuk melakukan tindak kekerasan. Pada 24
September 1999 petang, setelah RUU tersebut disahkan di DPRRI terjadi penembakan
di dekat kampus Atma Jaya. Kemudian, demonstrasi mahasiswa menyebar di berbagai
kota. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan “Tragedi Semanggi II.”
KORBAN TRAGEDI TRISAKTI - 12 MEI 1998:
1) Elang Mulya Lesmana - mahasiswa Trisakti
2) Hafidin Royan - mahasiswa
Trisakti
3) Hendriawan Sie - mahasiswa Trisakti
4) Heri Hartanto - mahasiswa Trisakti
KORBAN TRAGEDI SEMANGGI I – 13 NOVEMBER 1998:
1)
B.R.
Norma Irmawan (Wawan) - mahasiswa Atma Jaya (ditembak dengan peluru
tajam)
2)
Tedy
Mardani -
mahasiswa ITI (ditembak dengan peluru tajam)
3)
Sigit
Prasetyo -
mahasiswa YAI (ditembak dengan peluru tajam)
4)
Engkus
Kusnaedi - mahasiswa Unija Pulo Mas (ditembak dengan peluru tajam)
5)
Heru
Sudibyo -
mahasiswa STIE Rawamangun
6)
Muzamil
Joko Purwanto - mahasiswa UI
7)
Uga
Usmana -
mahasiswa Univ. Muhammadiyah
8)
Lukman
Firdaus - pelajar
9)
Agus
Setiana -
pelajar
10)
Doni
Efendi -
karyawan toko di pasar Bendungan Hilir
11)
Rinanto -
Satpam Hero Supermarket
12)
Budiono
13)
Sidik
14)
Sulwan
Lestaluhu
15)
Sulaeman
Lestaluhu
16)
Wahidin
Nurlete
17)
Budi
Marasabesy
KORBAN SEMANGGI II – 24 SEPTEMBER 1999
1) Yun Hap -
mahasiswa UI
2) Yusuf Rizal - mahasiswa
UBL
3) Saidatul Fitria - mahasiswa Unila
4) Meyer Ardiyansyah - mahasiswa IBA Palembang
5) Deny Yulian - alumni
mahasiswa Satyawacana
6) Tejo Sukmono
7) Zainal Abidin
8) Fadli
Kasus
Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II dikatagorikan sebagai kasus pelanggaran
HAM berat masa lalu karena penembakan para mahasiswa tiu terjadi sebelum UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM disahkan.
PENANGANAN KASUS
1.
Komnas HAM telah melakukan
penyelidikan kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, dan selesai pada bulan
Maret 2002.
2. Kejaksaan
Agung
berkali-kali mengembalikan berkas penyelidikan Komnas HAM dengan berbagai
alasan ataupun tidak disertai alasan, diantaranya:
1) Hasil penyelidikan dianggap hanya
merupakan transkrip,
dan penyelidik tidak disumpah.
2) Saksi dan penyelidik
harus disumpah
3) Hasil penyelidikan
harus ditulis dengan disertai kata “proyustisia” pada setiap halaman
4) Ditolak tanpa alasan.
5) Dalam pertemuan dengan
keluarga korban, Wakil Jaksa Agung, Muchtar Arifin menyatakan bahwa kasus
Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II dinyatakan terkena azas nebis in idem. Catatan:
-
kasus
Trisakti disidang dalam Pengadilan Militer sebanyak 2 kali, kasus Semanggi I
belum pernah disidang dalam pengadilan apapun, dan kasus Semanggi II disidang
dalam Pengadilan Militer sebanyak 1 kali.
-
Presiden
SBY telah menganugerahkan Bintang Pratama kepada 4 orang korban mahasiswa
Trisakti.
6) Pada 13 Maret 2008
berkas Penyelidikan Komnas HAM atas Kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II
dinyatakan hilang oleh Jampidsus Kejaksaan Agung Kemas Yahya Rahman. Namun
setelah dilaporkan kepada Presiden SBY dalam pertemuan dengan keluarga korban
pada 26 Maret 2008, Kapuspenkum Kejaksaan Agung Bonaventura Daulat Nainggolan
dalam konperensi pers tgl. 27 Maret 2008 menyatakan tidak hilang.
7) Jaksa Agung Basrief
Arief menyatakan bahwa pembentukan Pengadilan HAM ad hoc Timor Timur dan Tanjung Priok melalui perpu, jadi untuk
kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II harus menunggu perpu.
8) Sulit mencari bukti
karena kasusnya sudah terlalu lama.
9) Dengan semau-maunya
membuat batasan waktu, bahwa kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi lebih
dari 15 tahun yang lalu akan diselesaikan secara non-yudisial
3. DPRRI:
1) Periode 1999-2004.
Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan pengambilan keputusan pengesahan RUU
Pengadilan HAM, DPRRI membentuk Pansus
Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. Sidang Paripurna Dewan menyetujui Laporan
Pansus yaitu merekomendasikan untuk meneruskan Pengadilan Umum/Militer yang
telah dan sedang berjalan.
2) Periode 2004-2009.
Sesuai surat dari Komnas HAM perihal penyelesaian kasus peristiwa Trisakti,
Semanggi I dan Semanggi II, Pimpinan Dewan menugaskan Komisi III untuk
melakukan kajian. Hasil kajian Komisi III diputar di dalam rapat-rapat alat
kelengkapan dewan hingga 2 (dua) kali putaran. Di dalam rapat Badan Musyawarah yang
kedua hanya 4 fraksi yang setuju hasil kajian Komisi III dijadwalkan di dalam
Sidang Paripurna dan 6 fraksi lainnya menolak.
4.
Presiden
1) Dalam Tragedi Semanggi
I - 13 November 1998, Presiden B.J. Habibie berjanji akan menjatuhkan sanksi
tegas bagi semua pihak, termasuk para aparat keamanan, yang secara hukum
terbukti bersalah dalam insiden tanggal 13 November 1998. “Dalam kerangka ini
kami berjanji akan melakukan pengusutan yang adil, transparan dan tuntas,
dengan menegakkan prinsip kepastian dan kesamaan hukum,” (Kompas, 18/11/1998).
2) Periode pemerintahan
2004-2009. Dalam pertemuan Presiden SBY dengan keluarga korban pada 26 Maret
2008, Presiden SBY menyatakan bahwa hukum harus ditegakkan, kasus Trisakti,
Semanggi I dan Semanggi II diselesaikan melalui Pengadilan HAM ad hoc.
3) Periode pemerintahan
2009-2014. Presiden SBY menugaskan kepada:
-
Menko Polhukam, Djoko Suyanto dan Wakil
Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran
HAM berat masa lalu. Tim penyelesaian sudah dibentuk tetapi sampai akhir periode
pemerintahan tidak menghasilkan apa-apa.
-
Wantimpres
bidang Hukum dan HAM, DR. Albert Hasibuan, juga mendapat tugas yang sama, namun
sampai akhir masa bhaktinya tidak jelas kinerjanya.
4) Periode pemerintahan
2014-2019 (Jokowi-JK). Proses penanganan belum
jelas.
-
Semasa
Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno membentuk Komite Gabungan Pengungkap
Kebenaran dan Rekosnsiliasi. Anggotanya terdiri dari: Kemenko Polhukam, Badan
Intelijen Negara, Mabes TNI, Mabes Polri, Kejaksaan Agung, Kemenkumham, dan
Komnas HAM. Komite gabungan tersebut ditolak oleh JSKK (Jaringan Solidaritas
Korban untuk Keadilan) karena arah penyelesaiannya secara non-yudisial.
-
Semasa
Menko Polhukam Wiranto mengusung Dewan Kerukunan Nasional, penyelesaian dengan
tata adat, penyelesaian dengan jalur adat, penyelesaian secara musyawarah
mufakat, dan kemudian membentuk Tim Terpadu. Sebagai Menhankam Pangab tahun
1998, yang diduga terlibat dalam berbagai kasus pelanggaran HAM berat, Wiranto
berupaya menghindar dari jerat hukum, menghindar dari porses penyelesaian
pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur di dalam UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
HARAPAN:
Komitmen
Bapak Presiden Ir. H. Joko Widodo yang dikampanyekan sejak dalam kampanye
pemilu Capres pada tahun 2014 memberi harapan akan terwujudnya tuntutan yang
telah kami perjuangkan selama 20 tahun. Komitmen itu disampaikan pada 2 butir
yang tertulis di dalam Visi, Misi, dan Program Aksi Jokowi-JK, yaitu: (1) “ff. Kami berkomitmen menyelesaikan secara
berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai
dengan saat ini masih menjadi beban sosial bagi bangsa Indonesia seperti:
Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang
Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965” dan (2) “gg. Kami berkomitmen menghapus semua bentuk impunitas di dalam sistem
hukum nasional, termasuk di dalamnya merevisi UU Peradilan Militer yang pada
masa lalu merupakan salah satu sumber pelanggaran HAM”.
HARAPAN SEMAKIN PUDAR:
Komitmen
Jokowi – JK untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu dan menghapus
impunitas hanya kata-kata manis untuk meraup suara dalam pemilu. Kata-kata itu
diantaranya diucapkan pada:
1.
Pidato
dalam rangka peringatan hari HAM pada tgl. 9 Desember
2014, di Istana Yogyakarta,
menyatakan komitmen pemerintah untuk menyelesaikan
pelanggaran HAM berat
di masa lalu akan diselesaikan lewat dua jalur:
judisial dan non-judisial,
(Kompas, 10/12/2014).
2. Pidato kenegaraan dalam
rangka HUT RI pada 15 Agustus 2015 di depan Anggota MPRRI menyatakan bahwa
kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu akan diselesaikan secara yudisial,
non-yudisial dan rekonsilisasi.
3. Pidato dalam rangka
peringatan hari HAM pada tgl. 11 Desember 2015, di Istana Negara Jakarta,
menyatakan: “Untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, jalan
keluarnya adalah keberanian dari semua pihak untuk membuat terobosan. Sekali
lagi, kita semua perlu punya keberanian untuk rekonsiliasi atau mencari
terobosan penyelesaian melalui jalur yudisial dan non-yudisial”, (Kompas, 12/12/2015).
4.
Pidato
kenegaraan dalam rangka HUT RI pada 16 Agustus 2016 dan 16 Agustus 2017 di
depan anggota MPRRI tidak ada satu kata pun yang menyebut tentang HAM. Baru
pada pidato 16 Agustus 2018. kata-kata penyelesaian pelanggaran HAM berat masa
lalu itu muncul kembali.
Pengangkatan
mantan Menhankam Pangab 1998 Wiranto menjadi Menko Polhukam merupakan sinyal
bahwa perjuangan mahasiswa 1998 belum selesai. Penegakan hukum yang merupakan
agenda reformasi ke-3, masih harus terus diperjuangkan. Dan, pengangkatan
Wiranto pada jabatan yang strategis itu juga merupakan pengingkaran Jokowi-JK
terhadap komitmennya baik yang ditulis maupun yang diucapkan.
Jakarta,
23 Agustus 2018
Keluarga
Korban Semanggi I – 13 November 1998
Maria
Katarina Sumarsih
Ibunda BR
Norma Irmawan (Wawan)
Mahasiswa
Unika. Atma Jaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar