Senin, 27 Agustus 2018

Kasus Trisakti, Semanggi I dan Semangg II perlu diselesaikan melalui Pembentukan Pengadilan HAM AD HOC



Sebuah undang-undang yang mengatur penyelesaian pelanggaran HAM berat yaitu UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Pasal 43 (1) menyatakan bahwa: “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc”. Adapun mekanismenya adalah :
1    - Komnas HAM melakukan penyelidikan (pasal 18)
2   - Kejaksaan Agung melakukan penyidikan (pasal 21)
3  - DPRRI mengusulkan pembentukan pengadilan HAM ad hoc berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden (pasal 43 ay 2).
4   -  Presiden menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc .

Catatan:   
1)         Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-V/2007 menyatakan bahwa terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran HAM berat ditentukan oleh Komnas HAM sebagai lembaga penyellidik dan Kejaksaan Agung sebagai lembaga penyidik.
2)         Putusan Mahkamah Konstitusi No. 75/PUU-VIII/2015 menyatakan bahwa proses penyelesaian HAM berat yang terkatung-katung bukan lagi persoalan hukum (yuridis) lagi, melainkan persoalan kemauan politik.

Banyaknya hambatan penyelesaian kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II di meja pengadilan HAM ad hoc semakin meneguhkan keyakinan bahwa dalam kasus tersebut terbukti terjadi kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat.


TRAGEDI 1998/1999

Di penghujung pemerintahan Orde Baru, pada tahun 1998 mahasiswa berdemonstrasi menuntut turunnya Presiden Soeharto karena pemerintahannya semakin otoriter, militeristik dan korup. Sidang Umum MPRRI pada bulan Maret 1998, Soeharto kembali terpilih menjadi presiden. Gelombang demonstrasi dari ke hari semakin membesar. Dalam menghadapi para demonstran, pemerintah mengerahkan ABRI (TNI/Polri) dengan dipersenjatai peralatan berat untuk perang.

Disamping itu, mahasiswa juga menuntut perubahan sistem pemerintahan yang reformis dan demokratis dengan menyerukan tuntutan pelaksanaan “6 agenda reformasi”, yaitu
1    .  Adili Soeharto dan kroni-kroninya
2    .  Berantas KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme)
3    .  Tegakkan supremasi hukum
4    .   Cabut dwifungsi ABRI
5    .    Laksanakan otonomi daerah seluas-luasnya
6    .   Amandemen UUD 1945

Pada 13 Maret 1998, setelah Sidang Umum MPRRI terjadi penculikan terhadap para aktifis prodemokrasi.

Pada 12 Mei 1998, terjadi penembakan mahasiswa di Univ. Trisakti.

Pada 13-15 Mei 1998, terjadi kerusuhan massal di beberapa kota besar berupa pembakaran di berbagai pusat perbelanjaan.

Pada 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden dan menunjuk Wakil Presdien B.J. Habibie sebagai penggantinya. Penembakan mahasiswa Trisakti tidak menyurutkan semangat mahasiswa untuk mengawal reformasi dan demokrasi.

Pada 10 - 13 November 1998, pemerintahan Presiden BJ Habibie menggelar Sidang Istimewa MPRRI tetapi ditolak oleh mahasiswa karena disinyalir Sidang Istimewa MPRRI hanya akan dijadikan ajang konsolidari kroni-kroni Soeharto. Mahasiswa menuntut diselenggarakan pemilu ulang terlebih dahulu, karena yang akan bersidang adalah anggota MPRRI hasil pemilu 1997 di era pemerintahan Presiden Soeharto.

Pada saat itu, kampus Unika. Atma Jaya menjadi pusat berkumpulnya para mahasiswa dari berbagai kampus. Dan, untuk menghadapi para mahasiswa yang berdemonstrasi menolak Sidang Istimewa MPRRI, pemerintah tidak hanya mengerahkan TNI/Polri yang dipersenjatai dengan peralatan berat untuk perang tetapi juga mengerahkan pamswakarsa, yaitu masyarakat sipil yang dipersenjatai dengan bambu runcing. Terjadi banyak korban, baik yang luka-luka maupun meningal dunia karena ditembak dengan peluru tajam. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan “Tragedi Semanggi I.”

Pada tahun 1999, mahasiswa berdemonstrasi menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya karena RUU ini melegitimasi TNI/Polri untuk melakukan tindak kekerasan. Pada 24 September 1999 petang, setelah RUU tersebut disahkan di DPRRI terjadi penembakan di dekat kampus Atma Jaya. Kemudian, demonstrasi mahasiswa menyebar di berbagai kota. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan “Tragedi Semanggi II.” 

KORBAN TRAGEDI TRISAKTI - 12 MEI 1998:
1)       Elang Mulya Lesmana                -  mahasiswa Trisakti
2)       Hafidin Royan                              - mahasiswa Trisakti
3)       Hendriawan Sie                           -  mahasiswa Trisakti
4)       Heri Hartanto                               -  mahasiswa Trisakti

KORBAN TRAGEDI SEMANGGI I – 13 NOVEMBER 1998:
1)      B.R. Norma Irmawan (Wawan)    -  mahasiswa Atma Jaya (ditembak dengan peluru tajam)
2)      Tedy Mardani                               - mahasiswa ITI (ditembak dengan peluru tajam)
3)      Sigit Prasetyo                               - mahasiswa YAI (ditembak dengan peluru tajam)
4)      Engkus Kusnaedi                         -  mahasiswa Unija Pulo Mas (ditembak dengan peluru tajam)
5)      Heru Sudibyo                                - mahasiswa STIE Rawamangun
6)      Muzamil Joko Purwanto                - mahasiswa UI
7)      Uga Usmana                                 - mahasiswa Univ. Muhammadiyah
8)      Lukman Firdaus                            - pelajar
9)      Agus Setiana                                 - pelajar
10)   Doni Efendi                                   - karyawan toko di pasar Bendungan Hilir
11)   Rinanto                                          - Satpam Hero Supermarket
12)   Budiono                                                        
13)   Sidik                                                              
14)   Sulwan Lestaluhu                                      
15)   Sulaeman Lestaluhu                                 
16)   Wahidin Nurlete
17)   Budi Marasabesy

KORBAN SEMANGGI II – 24 SEPTEMBER 1999
1)       Yun Hap                                        - mahasiswa UI
2)       Yusuf Rizal                                   - mahasiswa UBL
3)       Saidatul Fitria                               - mahasiswa Unila
4)       Meyer Ardiyansyah                     - mahasiswa IBA Palembang
5)       Deny Yulian                                  - alumni mahasiswa Satyawacana
6)       Tejo Sukmono
7)       Zainal Abidin
8)       Fadli

Kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II dikatagorikan sebagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu karena penembakan para mahasiswa tiu terjadi sebelum  UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM disahkan.


PENANGANAN KASUS
1.       Komnas HAM telah melakukan penyelidikan kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, dan selesai pada bulan Maret 2002.
2.       Kejaksaan Agung berkali-kali mengembalikan berkas penyelidikan Komnas HAM dengan berbagai alasan ataupun tidak disertai alasan, diantaranya:
1)       Hasil penyelidikan dianggap hanya merupakan transkrip, dan penyelidik tidak disumpah.
2)       Saksi dan penyelidik harus disumpah
3)       Hasil penyelidikan harus ditulis dengan disertai kata “proyustisia” pada setiap halaman
4)       Ditolak tanpa alasan.
5)       Dalam pertemuan dengan keluarga korban, Wakil Jaksa Agung, Muchtar Arifin menyatakan bahwa kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II dinyatakan terkena azas nebis in idem. Catatan:
-          kasus Trisakti disidang dalam Pengadilan Militer sebanyak 2 kali, kasus Semanggi I belum pernah disidang dalam pengadilan apapun, dan kasus Semanggi II disidang dalam Pengadilan Militer sebanyak 1 kali.
-          Presiden SBY telah menganugerahkan Bintang Pratama kepada 4 orang korban mahasiswa Trisakti.
6)       Pada 13 Maret 2008 berkas Penyelidikan Komnas HAM atas Kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II dinyatakan hilang oleh Jampidsus Kejaksaan Agung Kemas Yahya Rahman. Namun setelah dilaporkan kepada Presiden SBY dalam pertemuan dengan keluarga korban pada 26 Maret 2008, Kapuspenkum Kejaksaan Agung Bonaventura Daulat Nainggolan dalam konperensi pers tgl. 27 Maret 2008 menyatakan tidak hilang.
7)       Jaksa Agung Basrief Arief menyatakan bahwa pembentukan Pengadilan HAM ad hoc Timor Timur dan Tanjung Priok melalui perpu, jadi untuk kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II harus menunggu perpu.
8)       Sulit mencari bukti karena kasusnya sudah terlalu lama.
9)       Dengan semau-maunya membuat batasan waktu, bahwa kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi lebih dari 15 tahun yang lalu akan diselesaikan secara non-yudisial

3.       DPRRI:
1)       Periode 1999-2004. Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan pengambilan keputusan pengesahan RUU Pengadilan HAM, DPRRI  membentuk Pansus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. Sidang Paripurna Dewan menyetujui Laporan Pansus yaitu merekomendasikan untuk meneruskan Pengadilan Umum/Militer yang telah dan sedang berjalan.
2)       Periode 2004-2009. Sesuai surat dari Komnas HAM perihal penyelesaian kasus peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Pimpinan Dewan menugaskan Komisi III untuk melakukan kajian. Hasil kajian Komisi III diputar di dalam rapat-rapat alat kelengkapan dewan hingga 2 (dua) kali putaran. Di dalam rapat Badan Musyawarah yang kedua hanya 4 fraksi yang setuju hasil kajian Komisi III dijadwalkan di dalam Sidang Paripurna dan 6 fraksi lainnya menolak.

4.       Presiden
1)       Dalam Tragedi Semanggi I - 13 November 1998, Presiden B.J. Habibie berjanji akan menjatuhkan sanksi tegas bagi semua pihak, termasuk para aparat keamanan, yang secara hukum terbukti bersalah dalam insiden tanggal 13 November 1998. “Dalam kerangka ini kami berjanji akan melakukan pengusutan yang adil, transparan dan tuntas, dengan menegakkan prinsip kepastian dan kesamaan hukum,” (Kompas, 18/11/1998).
2)       Periode pemerintahan 2004-2009. Dalam pertemuan Presiden SBY dengan keluarga korban pada 26 Maret 2008, Presiden SBY menyatakan bahwa hukum harus ditegakkan, kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II diselesaikan melalui Pengadilan HAM ad hoc.
3)       Periode pemerintahan 2009-2014. Presiden SBY menugaskan kepada:
-           Menko Polhukam, Djoko Suyanto dan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Tim penyelesaian sudah dibentuk tetapi sampai akhir periode pemerintahan tidak menghasilkan apa-apa.
-          Wantimpres bidang Hukum dan HAM, DR. Albert Hasibuan, juga mendapat tugas yang sama, namun sampai akhir masa bhaktinya tidak jelas kinerjanya.


4)       Periode pemerintahan 2014-2019 (Jokowi-JK). Proses penanganan belum jelas.
-          Semasa Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno membentuk Komite Gabungan Pengungkap Kebenaran dan Rekosnsiliasi. Anggotanya terdiri dari: Kemenko Polhukam, Badan Intelijen Negara, Mabes TNI, Mabes Polri, Kejaksaan Agung, Kemenkumham, dan Komnas HAM. Komite gabungan tersebut ditolak oleh JSKK (Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan) karena arah penyelesaiannya secara non-yudisial.
-          Semasa Menko Polhukam Wiranto mengusung Dewan Kerukunan Nasional, penyelesaian dengan tata adat, penyelesaian dengan jalur adat, penyelesaian secara musyawarah mufakat, dan kemudian membentuk Tim Terpadu. Sebagai Menhankam Pangab tahun 1998, yang diduga terlibat dalam berbagai kasus pelanggaran HAM berat, Wiranto berupaya menghindar dari jerat hukum, menghindar dari porses penyelesaian pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur di dalam UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.


HARAPAN:
Komitmen Bapak Presiden Ir. H. Joko Widodo yang dikampanyekan sejak dalam kampanye pemilu Capres pada tahun 2014 memberi harapan akan terwujudnya tuntutan yang telah kami perjuangkan selama 20 tahun. Komitmen itu disampaikan pada 2 butir yang tertulis di dalam Visi, Misi, dan Program Aksi Jokowi-JK, yaitu: (1) “ff. Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial bagi bangsa Indonesia seperti: Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965” dan (2) “gg. Kami berkomitmen menghapus semua bentuk impunitas di dalam sistem hukum nasional, termasuk di dalamnya merevisi UU Peradilan Militer yang pada masa lalu merupakan salah satu sumber pelanggaran HAM”.


HARAPAN SEMAKIN PUDAR:
Komitmen Jokowi – JK untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu dan menghapus impunitas hanya kata-kata manis untuk meraup suara dalam pemilu. Kata-kata itu diantaranya diucapkan pada:
1.       Pidato dalam rangka peringatan hari HAM pada tgl. 9 Desember 2014, di Istana Yogyakarta, menyatakan komitmen pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu akan diselesaikan lewat dua jalur: judisial dan non-judisial, (Kompas, 10/12/2014).
2.       Pidato kenegaraan dalam rangka HUT RI pada 15 Agustus 2015 di depan Anggota MPRRI menyatakan bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu akan diselesaikan secara yudisial, non-yudisial dan rekonsilisasi.
3.       Pidato dalam rangka peringatan hari HAM pada tgl. 11 Desember 2015, di Istana Negara Jakarta, menyatakan: “Untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, jalan keluarnya adalah keberanian dari semua pihak untuk membuat terobosan. Sekali lagi, kita semua perlu punya keberanian untuk rekonsiliasi atau mencari terobosan penyelesaian melalui jalur yudisial dan non-yudisial”, (Kompas, 12/12/2015).
4.       Pidato kenegaraan dalam rangka HUT RI pada 16 Agustus 2016 dan 16 Agustus 2017 di depan anggota MPRRI tidak ada satu kata pun yang menyebut tentang HAM. Baru pada pidato 16 Agustus 2018. kata-kata penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu itu muncul kembali.

Pengangkatan mantan Menhankam Pangab 1998 Wiranto menjadi Menko Polhukam merupakan sinyal bahwa perjuangan mahasiswa 1998 belum selesai. Penegakan hukum yang merupakan agenda reformasi ke-3, masih harus terus diperjuangkan. Dan, pengangkatan Wiranto pada jabatan yang strategis itu juga merupakan pengingkaran Jokowi-JK terhadap komitmennya baik yang ditulis maupun yang diucapkan.


Jakarta, 23 Agustus 2018

Keluarga Korban Semanggi I – 13 November 1998
Maria Katarina Sumarsih
Ibunda BR Norma Irmawan (Wawan)
Mahasiswa Unika. Atma Jaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar