Eksekusi Mati Rani Andriani dan
Lima Gembong Narkoba Asing Lainnya Menimbulkan Pro dan Kontra
Fodimers...
seperti yang kita ketahui, Kejaksaan Agung telah melakukan eksekusi mati kepada
6 terpidana kasus narkoba yaitu diantaranya Cardoso
Moreira (WN Brazil),
Namaona Denis (WN Malawi),
Daniel Enamuo (WN Nigeria), Tommi Wijaya
(WN Belanda), Rani (WN Indonesia). Rani
Andriani alias Mellisa Aprilia yang merupakan Warga
Negara Indonesia (WNI) berusia 39 tahun
telah dieksekusi mati pada tanggal 18 Januari 2015 sekitar
pukul 00.00. Rani divonis mati lewat putusan pertama di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang pada pertengahan Agustus tahun 2000.
Sejak saat itu, ia berulang kali mencari cara untuk bebas dari hukuman.
Kebijakan yang dilakukan oleh presiden
baru kita, Joko Widodo, memang menunjukkan sikap tegas yang bertujuan untuk
membenahi Negara Indonesia dari maraknya pengedaran narkoba. Namun,
langkah tegas dari Beliau rupanya menimbulkan pro dan kontra, dimana hal tersebut
mempunyai sisi baik dan buruk untuk perkembangan Negara Indonesia. "Sebagai orang yang paham seluk-beluk kejahatan
peredaran gelap narkotika, kami melihat eksekusi mati bukan jawaban untuk menekan
angka kejahatan narkotik," kata pendiri 'Empowerment and Justice Action' (EJA) Surabaya, Rudhy Whedasmara. Meski menolak hukuman
mati terhadap terpidana mati narkotika, Rudhy mengatakan kalau ini bukan berarti mereka mendukung bandar narkotika. "Kami sepenuhnya mendukung upaya penghukuman
yang berat kepada gembong narkotika yang sesungguhnya, tetapi bukan hukuman
mati, karena eksekusi bukanlah jawaban yang tepat" Menurut Rudhy, solusi yang
tepat dalam memerangi peredaran gelap narkotika adalah negara seharusnya berupaya maksimal
menjaga wilayah perbatasan Indonesia agar tidak sampai dimasuki
oleh narkotika gelap.
Rudhy Whedasmara mengatakan hukuman mati dan
eksekusi mati telah terbukti gagal menurunkan angka kejahatan narkotika.
Hukuman mati juga tidak berhasil mengurangi laju jumlah pecandu atau pemakai
narkotika di Indonesia. "Perempuan di dalam bisnis narkotika tidak dapat dilepaskan dari bisnis
perdagangan manusia maupun kekerasan terhadap perempuan akibat ketidaksetaraan
jender. Terjeratnya perempuan di dalam kejahatan narkotika seringnya karena
ditipu, dimanipulasi, dan diberi janji kosong," katanya. Ketika
perempuan tersebut tertangkap karena narkotika, penegakan hukum secara buta
menuduh mereka terlibat dalam rantai peredaran gelap narkotika dan luput
melihat fakta bahwa mereka menjadi korban perdagangan manusia atau korban
kekerasan dari pasangannya. Menurut pendapat Beliau, Rani Andriani merupakan
contoh perempuan yang terjerat dalam kejahatan narkotika karena tertipu oleh
mafia narkotika dan tertekan secara ekonomi
dan psikologi.
Akan tetapi, menurut KPAI hukum mati gembong narkoda adalah wujud konkret perlindungan anak. Komisi Perlidungan anak Indonesia (KPAI) mendukung
langkah nyata pemerintahan Joko Widodo dalam memerangi kejahatan narkoba dengan
menghukum mati para gembong. Komitmen kuat tersebut merupakan wujud konkret
pemerintah dalam perlindungan anak Indonesia. "KPAI
prihatin peredaran
ilegal narkoba
demikian
massifnya di tengah masyarakat dan terus menyasar ke anak-anak," kata
Ketua KPAI, Asrorun Niam Sholeh. Menurutnya, angka prevalensi
usia anak yang menjadi korban narkoba mengalami trend semakin dini. Narkoba telah mejadi ancaman serius bagi masa
depan anak-anak Indonesia. "Untuk itu, langkah tegas terhadap penjahat
narkoba tanpa kompromi adalah wujud konkret komitmen perlindungan anak,
komitmen untuk selamatkan anak," katanya.
Selain itu, langkah tegas Presiden Joko Widodo dalam menolak
pemberian grasi terhadap terpidana mati kasus narkoba diapresiasi. Ketegasan Jokowi
itu menunjukkan bahwa mantan Gubernur DKI Jakarta itu tidak main-main dalam
persoalan narkoba. Jokowi juga diharapkan dapat tegas dalam persoalan hukum
lainnya. Sebelumnya, Jokowi berencana menolak 64 permohonan grasi
terpidana mati kasus narkoba. Dari jumlah tersebut, beberapa permohonan
diantaranya telah sampai di meja kerja Jokowi. Sementara sisanya masih berputar
di lingkungan Istana. Jokowi beralasan penolakan ini untuk memberikan shock
therapy kepada para pelaku kejahatan narkoba. Ia mengatakan bahwa terpidana
mati narkoba yang ditolak permohonan grasinya sebagian besar adalah bandar yang
atas perbuatannya dan kelompoknya dianggap merusak generasi penerus bangsa.
EST
*Dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar